Bukti-bukti kekaryaan seni rakyat
itu, merupakan suatu contoh dari bentuk perjumbuhan Islam dengan Jawa dalam bidang
kesenian, dimana masyarakat kita memiliki anggapan, bahwa dasar endapan nilai,
sikap, dan karakter Islam di Indonesia, tak terpisahkan dari prestasi ciptaan
budaya bangsa yang terefleksikan oleh artefak, bangunan maupun tradisi. Dalam
penelitiannya terhadap pelbagai pertunjukan rakyat, Kuntowijoyo dkk mengidentifikasikan
tema-tema Islam dalam tradisi kejawèn. Di
sini budaya dianggap sebagai media yang tepat untuk meneruskan nilai Islam yang
integratif, meningkatkan kualitas bangsa dan peran umat dalam pembangunan.
Konteks tersebut melahirkan tuntutan akan lahirnya suatu kontraprestasi. Sesuai
dengan watak kebudayaan yang makroskopis, maka tuntutan itu hanya akan dapat
dipenuhi jika masyarakat mampu menemukan indeks vitalitas, dinamika dan
kreativitas dari proses perubahan dan reintegrasi dalam kebudayaan Islam di
Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut merupakan suatu paedagogi yang akan
bermanfaat bagi penyusunan strategi dalam menjawab arus besar permasalahan
rakyat dan bangsa Indonesia .
Ketegangan dorongan Islam
terhadap peradaban manusia, disertai dengan transformasi ritus pokok keagamaan
yang menjadi media penghubung manusia dengan Tuhan. Itu memiliki konsekuensi
terhadap masalah manusia, karena takwa secara luas hanya akan bermakna manakala
memiliki konteks-konteks sosial. Hal yang seperti itu telah mempercepat
tumbuhnya kesadaran etis, yang menegaskan pentingnya nilai-nilai keselamatan
melalui pemeliharaan akan ide-ide dan lembaga-lembaga kebudayaan yang bernilai
permanen. Dengan demikian, praktek beragama akan terus berkembang sesuai dengan
fitrah dan kemajuan manusia.
Di sini, dinamika kebudayaan
tercipta melalui pengalaman eksistensial. Yakni pergulatan antara norma wahyu
dengan kondisi aktual kehidupan manusia, berdasar asumsi bahwa norma itu akan
mengatur kehidupan aktual manusia dengan mempertimbangkan pengaruh aspek ruang,
waktu, dan versi ideal yang akan dibangkitkan. Elaborasi tersebut melahirkan
proses Islamisasi atau reorientasi cita-cita. Elaborasi demikian menciptakan
gerak kebudayaan Islam yang berbeda. Relevansi agama dengan kenyataan akan
melahirkan kebudayaan yang tumbuh dari lembaga keagamaan yang secara khusus
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan ibadah mahdloh, atau tumbuh akibat dari
peristiwa itu seperti tradisi lebaran, arsitektur bangunan masjid dan
lain-lain. Sedang gerakan kedua melahirkan pelembagaan fatwa, baik taqlid, ijtihad atau bid'ah
sebagai dasar perkembangan kebudayaan rakyat secara luas.
Kebudayaan Islam biasanya
terefleksikan secara menonjol dalam bidang estetis, moral dan ideasional. Namun
hal tersebut tidak melahirkan bentuk-bentuk kehidupan budaya yang homogen,
sebab perkembangannya akan selalu mengikuti perkembangan historis, teleologis
dan epistemisnya. Di sini, lokasi wilayah kehidupan memiliki pengaruh yang
besar terhadap lahirnya bentuk-bentuk diverse
kebudayaan Islam sesuai dengan cuatan tradisi masyarakat lokal. Kebudayaan di
tingkat lokal inilah yang menjadi basis utama pertumbuhan budaya Islam sejak
awalnya. Sedang corak pertumbuhan budaya Islam mutakhir yang berkembang di
tingkat nasional, merupakan suatu kreasi yang tumbuh lebih kemudian berdasar
basis kelas menengah terpelajar di daerah perkotaan. Seluruh corak yang
beraneka ragam itu merupakan khazanah dari ekspresi estetik, tradisi dan
inovasi keislaman. Sedangkan tolok ukur keabsyahannya adalah sepanjang menerima
dasar kebenaran tentang tauhid dan nubuwah (von Grunebaum, 1983). Hal demikian
telah mendorong lahirnya pusat-pusat kebudayaan Islam daerah dengan fokus dan
corak yang beraneka ragam.
Agenda budaya Kebudayaan Islam di
Indonesia saat ini seakan-akan sedang mengalami "mati suri"
menghadapi ketegangan baru akibat tingkat perubahan dan arus informasi global
yang cepat dan paham-paham “purifikasi” keagamaan yang kecenderungannya
normative tekstual. . Hal tersebut memberi pengaruh yang mendalam, karena
perubahan yang bertumpu pada pembangunan yang dirancang secara sistematik
memang telah mempunyai gambaran yang agak jelas tentang apa yang dimaksud
dengan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya kebudayaan Islam yang tumbuh di tingkat
lokal sering kehilangan vitalitas. Apalagi kebudayaan harus pula berhadapan
dengan kenyataan tentang banyaknya kebijakan dan proyek-proyek sosial yang
lebih mengutamakan orientasi ekonomi tanpa secara mendalam memasukkan
kebudayaan (faktor antropologi dan sosiologi) dalam social impact assessment-nya. Karena itu sering lahir kesenjangan
dan gejala kemandegan dari kebudayaan lokal.
Dalam kaitan itu, sudah emestinya
pusat-pusat pendidikan Islam memiliki
peran penting manakala mampu membudidayakan ketegangan yang sedang berlangsung
itu bagi pembentukan wacana baru, sehingga perubahan yang tengah berlangsung
bukannya menjadi sumber kekacauan, melainkan justru akan mendorong tumbuhnya
kreativitas kebudayaan. Untuk itu dibutuhkan langkah revitalisasi, sehingga
prinsip Islam tentang peradaban mampu memperkukuh kembali interdependensi
kebudayaan dengan masyarakat pendukungnya. Hal demikian memungkinkan kebudayaan
kembali terdongkrak dalam memaksimalisasikan sistem nilainya sebagai the doctrine of spiritual eligibility.
Di sini, setidak-tidaknya
terdapat tiga hal penting yang patut didiskusikan untuk mengembangkan
perjumbuhan agama dan kebudayaan:
- Pemikiran tentang perlunya mengintensifkan kembali akan pentingnya wacana culture as ideology, yakni gerakan penyelamatan budaya yang bukan berdasar atas perlindungan dan subsidi dari sektor modern, melainkan didorong oleh saling ketergantungan secara fungsional antara masyarakat dengan kebudayaan.
- Upaya penipisan ekses dari rasionalisme terhadap perilaku keagamaan manusia modern, yang lebih mementingkan asketisme yang terpisah dari kesenian (sehingga memperkecil hubungan emosional agama dengan budaya yang telah mempermiskin kandungan simbol budaya. Di sini, dibutuhkan pemikiran untuk meningkatkan kemampuan agama dalam mentransformasikan manusia modern melalui upaya penyatuan kembali asketisme dengan mistisisme (kesalihan simbolis) baru. Sehingga kebudayaan mampu memperkukuh kesadaran makna tentang emansipasi manusia secara spiritual dalam proses-proses masyarakat modern.
- Merintis langkah pelestarian benda budaya, sekaligus untuk mendorong pengembangan kreativitas. Di sini, yang patut dicontoh adalah usaha Pangeran Karim Alhussaini Syah (Aga Khan IV) melalui proyek-proyek Aga Khan Programme for Architecture di MIT Harvard dan The Trust di Geneva. Penghargaan itu diberikan dalam bentuk Aga Khan Award untuk prestasi dalam bangunan dan arsitektur keislaman yang memadukan unsur tradisi dengan fungsi bangunan modern. Antisipasi demikian diharap akan dapat berfungsi mencegah kemungkinan terjadinya kekeringan inisiatif dan akhirnya budaya Islam terperangkap ke dalam dogma-dogma kosong.
Pabelan, 25 Juli 2009