Pages

Jumat, 08 Maret 2013

Akulturasi, Strategi Perjumbuhan Islam-Jawa - Bagian II (selesai)


Oleh MT Arifin



Bukti-bukti kekaryaan seni rakyat itu, merupakan suatu contoh dari bentuk perjumbuhan Islam dengan Jawa dalam bidang kesenian, dimana masyarakat kita memiliki anggapan, bahwa dasar endapan nilai, sikap, dan karakter Islam di Indonesia, tak terpisahkan dari prestasi ciptaan budaya bangsa yang terefleksikan oleh artefak, bangunan maupun tradisi. Dalam penelitiannya terhadap pelbagai pertunjukan rakyat, Kuntowijoyo dkk mengidentifikasikan tema-tema Islam dalam tradisi kejawèn. Di sini budaya dianggap sebagai media yang tepat untuk meneruskan nilai Islam yang integratif, meningkatkan kualitas bangsa dan peran umat dalam pembangunan. Konteks tersebut melahirkan tuntutan akan lahirnya suatu kontraprestasi. Sesuai dengan watak kebudayaan yang makroskopis, maka tuntutan itu hanya akan dapat dipenuhi jika masyarakat mampu menemukan indeks vitalitas, dinamika dan kreativitas dari proses perubahan dan reintegrasi dalam kebudayaan Islam di Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut merupakan suatu paedagogi yang akan bermanfaat bagi penyusunan strategi dalam menjawab arus besar permasalahan rakyat dan bangsa Indonesia.
Ketegangan dorongan Islam terhadap peradaban manusia, disertai dengan transformasi ritus pokok keagamaan yang menjadi media penghubung manusia dengan Tuhan. Itu memiliki konsekuensi terhadap masalah manusia, karena takwa secara luas hanya akan bermakna manakala memiliki konteks-konteks sosial. Hal yang seperti itu telah mempercepat tumbuhnya kesadaran etis, yang menegaskan pentingnya nilai-nilai keselamatan melalui pemeliharaan akan ide-ide dan lembaga-lembaga kebudayaan yang bernilai permanen. Dengan demikian, praktek beragama akan terus berkembang sesuai dengan fitrah dan kemajuan manusia.
Di sini, dinamika kebudayaan tercipta melalui pengalaman eksistensial. Yakni pergulatan antara norma wahyu dengan kondisi aktual kehidupan manusia, berdasar asumsi bahwa norma itu akan mengatur kehidupan aktual manusia dengan mempertimbangkan pengaruh aspek ruang, waktu, dan versi ideal yang akan dibangkitkan. Elaborasi tersebut melahirkan proses Islamisasi atau reorientasi cita-cita. Elaborasi demikian menciptakan gerak kebudayaan Islam yang berbeda. Relevansi agama dengan kenyataan akan melahirkan kebudayaan yang tumbuh dari lembaga keagamaan yang secara khusus diperlukan untuk mendukung pelaksanaan ibadah mahdloh, atau tumbuh akibat dari peristiwa itu seperti tradisi lebaran, arsitektur bangunan masjid dan lain-lain. Sedang gerakan kedua melahirkan pelembagaan fatwa, baik taqlid, ijtihad atau bid'ah sebagai dasar perkembangan kebudayaan rakyat secara luas.
Kebudayaan Islam biasanya terefleksikan secara menonjol dalam bidang estetis, moral dan ideasional. Namun hal tersebut tidak melahirkan bentuk-bentuk kehidupan budaya yang homogen, sebab perkembangannya akan selalu mengikuti perkembangan historis, teleologis dan epistemisnya. Di sini, lokasi wilayah kehidupan memiliki pengaruh yang besar terhadap lahirnya bentuk-bentuk diverse kebudayaan Islam sesuai dengan cuatan tradisi masyarakat lokal. Kebudayaan di tingkat lokal inilah yang menjadi basis utama pertumbuhan budaya Islam sejak awalnya. Sedang corak pertumbuhan budaya Islam mutakhir yang berkembang di tingkat nasional, merupakan suatu kreasi yang tumbuh lebih kemudian berdasar basis kelas menengah terpelajar di daerah perkotaan. Seluruh corak yang beraneka ragam itu merupakan khazanah dari ekspresi estetik, tradisi dan inovasi keislaman. Sedangkan tolok ukur keabsyahannya adalah sepanjang menerima dasar kebenaran tentang tauhid dan nubuwah (von Grunebaum, 1983). Hal demikian telah mendorong lahirnya pusat-pusat kebudayaan Islam daerah dengan fokus dan corak yang beraneka ragam.
Agenda budaya Kebudayaan Islam di Indonesia saat ini seakan-akan sedang mengalami "mati suri" menghadapi ketegangan baru akibat tingkat perubahan dan arus informasi global yang cepat dan paham-paham “purifikasi” keagamaan yang kecenderungannya normative tekstual. . Hal tersebut memberi pengaruh yang mendalam, karena perubahan yang bertumpu pada pembangunan yang dirancang secara sistematik memang telah mempunyai gambaran yang agak jelas tentang apa yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya kebudayaan Islam yang tumbuh di tingkat lokal sering kehilangan vitalitas. Apalagi kebudayaan harus pula berhadapan dengan kenyataan tentang banyaknya kebijakan dan proyek-proyek sosial yang lebih mengutamakan orientasi ekonomi tanpa secara mendalam memasukkan kebudayaan (faktor antropologi dan sosiologi) dalam social impact assessment-nya. Karena itu sering lahir kesenjangan dan gejala kemandegan dari kebudayaan lokal.
Dalam kaitan itu, sudah emestinya pusat-pusat pendidikan Islam  memiliki peran penting manakala mampu membudidayakan ketegangan yang sedang berlangsung itu bagi pembentukan wacana baru, sehingga perubahan yang tengah berlangsung bukannya menjadi sumber kekacauan, melainkan justru akan mendorong tumbuhnya kreativitas kebudayaan. Untuk itu dibutuhkan langkah revitalisasi, sehingga prinsip Islam tentang peradaban mampu memperkukuh kembali interdependensi kebudayaan dengan masyarakat pendukungnya. Hal demikian memungkinkan kebudayaan kembali terdongkrak dalam memaksimalisasikan sistem nilainya sebagai the doctrine of spiritual eligibility.
Di sini, setidak-tidaknya terdapat tiga hal penting yang patut didiskusikan untuk mengembangkan perjumbuhan agama dan kebudayaan:
  1. Pemikiran tentang perlunya mengintensifkan kembali akan pentingnya wacana culture as ideology, yakni gerakan penyelamatan budaya yang bukan berdasar atas perlindungan dan subsidi dari sektor modern, melainkan didorong oleh saling ketergantungan secara fungsional antara masyarakat dengan kebudayaan.
  2. Upaya penipisan ekses dari rasionalisme terhadap perilaku keagamaan manusia modern, yang lebih mementingkan asketisme yang terpisah dari kesenian (sehingga memperkecil hubungan emosional agama dengan budaya yang telah mempermiskin kandungan simbol budaya. Di sini, dibutuhkan pemikiran untuk meningkatkan kemampuan agama dalam mentransformasikan manusia modern melalui upaya penyatuan kembali asketisme dengan mistisisme (kesalihan simbolis) baru. Sehingga kebudayaan mampu memperkukuh kesadaran makna tentang emansipasi manusia secara spiritual dalam proses-proses masyarakat modern.
  3. Merintis langkah pelestarian benda budaya, sekaligus untuk mendorong pengembangan kreativitas. Di sini, yang patut dicontoh adalah usaha Pangeran Karim Alhussaini Syah (Aga Khan IV) melalui proyek-proyek Aga Khan Programme for Architecture di MIT Harvard dan The Trust di Geneva. Penghargaan itu diberikan dalam bentuk Aga Khan Award untuk prestasi dalam bangunan dan arsitektur keislaman yang memadukan unsur tradisi dengan fungsi bangunan modern. Antisipasi demikian diharap akan dapat berfungsi mencegah kemungkinan terjadinya kekeringan inisiatif dan akhirnya budaya Islam terperangkap ke dalam dogma-dogma kosong.
  
                                                                             Pabelan, 25 Juli 2009


0 komentar:

Posting Komentar